Selasa, 31 Mei 2011

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam
Kelas/Semester : VI1 / I
Pertemuan Ke : 1 (Satu)
Waktu : 45 menit
Standar Kompetensi : • Memahami tentang puasa wajib
Kompetensi Dasar : • Menjelaskan ketentuan puasa wajib
• Mempraktikan puasa wajib
Indikator : • Mampu menjelaskan pengertian ketentuan puasa wajib

Materi Ajar (Materi Pokok) : • Puasa wajib
Metode Pembelajaran : • Ceramah dan tanya jawab
• Peraktek
• Penguasaan
Tujuan Pembelajaran : Mampu menjelaskan ketentuan puasa wajib
Langkah-langkah a. Kegiatan Awal
• Guru-Siswa memberi salam dan memulai pelajaran dengan mengucapkan basmalah dan kemudian berdoá bersama sebelum memulai pelajaran.
• Siswa menyiapkan kitab suci Al Qurán
• Secara bersama membaca Al Qurán selama 5 – 10 menit
• Guru menjelaskan secara singkat materi yang akan diajarkan dengan kompetensi dasar yang akan dicapai.
b. Kegiatan Inti
Dalam kegiatan inti, guru dan para siswa melakukan beberapa kegiatan sebagai berikut:
(i) Eksplorasi
• Untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa tentang materi Puasa wajib, guru melakukan tanya jawab tentang hukum Puasa wajib sebagai fre tes
• Guru meminta siswa untuk membuka Al Qur’an.


(ii) Konsolidasi Pembelajaran
• Guru menerangkan Puasa wajib dan siswa mendengarkannya
• Guru melakukan Tanya jawab dengan Siswa seputar permasalahan puasa wajib
• Guru memberikan motivasi kepada siswa untuk melaksanakan puasa wajib ketika sudah waktunya.
(iii) Pembentukan Sikap dan Perilaku
• Dengan mempelajari tentang puasa wajib diharapkan keimanan siswa kepada Allah swt bertambah.
c. Kegiatan Akhir (Penutup)
• Guru mengulang secara singkat tentang materi puasa wajib sebagai penekanan dengan cara fre test
• Guru memberikan kesempatan mkepada siswa untuk bertanya permasalahan puasa wajib yang belum diketahui.
• Guru memotivasi siswa untuk melksanakan puasa wajib.
• Guru menutup/mengakhiri pelajaran tersebut dengan membaca hamdalah/doá.
• Guru mengucapkan salam kepada para siswa sebelum keluar kelas dan siswa menjawab salam.

Penilaian : Tes Tertulis
• pemahaman tentang puasa wajib
Tes Perbuatan
• Membaca ayat-ayat Al Qur'an yang berkaitan dengan puasa wajib.

Bahan/Sumber Belajar : • Al Qur’an dan terjemahannya
• Buku pelajaran PAI SMP kelas VII

III. Tes sikap:Portofolio
Tes pengalaman dilakukan dengan menggunakan portofolio dimana guru mencatat pengalaman agama berdasarkan antara lain:
• apa yang dilihat;
• laporan rekan guru dan pegawai lainnya; dan
• laporan dari orangtua murid atau siswa

Senin, 30 Mei 2011

Metode Istimbath Hukum majlis Tarjih Muhammadiyah

A. PENDAHULUAN
Islam yang sejak awal lahir sudah menjadi perhatian banyak ummat, dengan munculnya berbagai pemahaman yang beraneka ragam, mulai dari yang berseberangan, kasuistik maupun yang sifatnya menjelaskan (mempertegas) dari peradaban-peradaban sebelumnya. Sejak abad ke-7 Islam muncul dan sejak saat itulah Rasulullah dan kemudian diteruskan oleh para sahabat berjuang menegakkan dua kalimat syahadat dari berbagai lini kehidupan Bangsa Arab masa itu. Lahirnya sebuah peradaban baru yang ditandai dengan kekayaan pemikiran dari para pemikir Muslim kemudian terus berkembang untuk memberikan jawaban terhadap perubahan zaman dengan berbagai pasang-surutnya.
Sebuah proses yang sangat panjang untuk membahas perkembangan pemikiran Islam, yang pada dasarnya tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang datangnya tiba-tiba, melainkan muncul sebagai akibat dari tarik-menarik antara kekuatan Inner dynamic Islam dengan faktor-faktor eksternal. Karena itu, untuk memahami pemikiran Islam kita perlu meletakkannya dalam konteks sejarah supaya tidak terjebak dalam pemahaman yang ahistoris. Salah satu contoh sikap ahistoris itu ialah pemahaman bahwa Ahl al-Sunnah wal-Jama’ah sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, dan selalu mengandung pengertian yang sama di semua tempat dan segala zaman. Ajaran Ahl al-Sunnah wal-jamaa’ah dalam masyarakat Islam secara umum telah dijadikan sebagai ideology formal dari berbagai gerakan, misalnya di Indonesia, Nahdlatul ‘Ulama (NU) yang secara resmi menganut ideology ini, dengan keterangan, untuk memperjuangkan agama Islam menurut ajaran salah satu dari Madzhab fiqh. Muhammadiyah secara tidak langsung juga mengakui ideology ini sebagaimana yang terlihat dalam salah satu keputusan Majelis Tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah dari Ahl-al Haqq wa al-Sunnah.
Banyak peristiwa penting berhubungan dengan hukum islam sejak Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, dan juga sebelum proklamasi tersebut, yang melahirkan kontroversi bahkan gejolak dalam masyarakat. Pembicaraan mengenai hokum islam dalam perjalanan bangsa Indonesia tidak hanya mendapat perhatian resmi seperti di PPKI, konstituante, DPR, departemen-departemen pemerintahan atau lembaga-lembaga resmi Negara, tetapi juga padda tingkat rakyat, terutama organisasi-organisasi massa yang berhubungan dengan islam. Yakni seperti Muhammadiyah (melalui lajnah tarjih) dan nahdlatul Ulama (melalui Lajnah Bahsul Masa’il) sebagai organisasi islam terbesar dan tertua di Indonesia telah berusaha, bahkan sejak sebelum kemerdekaan, untuk memecahkan berbagai permasalahan hokum yang berhubungan dengan islam. Dalam tulisan inilah kami mencoba memfokuskan pada keputusan-keputusan yang pernah dikeluarkan oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa’il sebagai dua lembaga ijtihad tentang metode-metode yang digunakan dalam istinbath jama’I di Indonesia.


B. LAJNAH TARJIH MUHAMMADIYAH
Dalam bidang keagamaan, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi Islam yang memutuskan tidak terikat dengan suatu mazhab tertentu, baik dalam merumuskan ketentuan-ketentuan agama maupun dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah. Untuk merumuskan ketentuan-ketentuan hokum baru tersebut muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks, dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi : usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama mengenainya ". Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama " Ijtihad ".
Oleh karenanya, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini, tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majlis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M , melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah.
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majlis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu :
a. KH. Mas Mansur
b. Ki Bagus Hadikusuma
c. KH. Ahmad Badawi
d. Krt. KH. Wardan Diponingrat
e. KH. Azhar Basyir
f. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
g. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
h. Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )
Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji " Mabadi’ Khomsah "( Masalah Lima ) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan , perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselengarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majlis Tarjih di Yogyakarta.
Masalah Lima tersebut meliputi :
1. Pengertian Agama (Islam) atau al Din , yaitu :Apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.
2. Pengertian Dunia (al Dunya ): Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rosulullah saw : " Kamu lebih mengerti urusan duniamu " ialah :segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para nabi ( yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia )
3. Pengertian Al Ibadah, ialah : Bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada Allah,dengan jalan mentaati segala perintah-perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan mengamalkan segala yang diijinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus ; a. yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
4. Pengertian Sabilillah, ialah : Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridloaan Allah, berupa segala amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan kalimat( agama )-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya
5. Pengertian Qiyas,( Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya )

Metode Istinbat Hukum Majlis Tarjih Muhammadiyah
Karena Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majlis Tarjih terus berusaha merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan hukum. Dan pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majlis Tarjih baru berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Dalam memutuskan suatu masalah, maka lajnah Tarjih menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah maqbullah (yang dapat diterima otensitasnya), namun tidak menutup jalan ijtihad, untuk lebih jelasnya berikut Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih (disertai keterangan singkat) adalah sbb :
a. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad , termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani : yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang ditaklukan seperti tanah Iraq, Iran , Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan “Khoroj” dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin , dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua : Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak dijelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada, cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal ) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat , demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti ; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll.
b. Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat.( Seperti pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla’ Wilayatul Hukmi ).
c. Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan al– Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. ( Seperti halnya ketika Majlis Tarjih mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam menggunakan Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan: Rumusan di atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada Al-Qur’an dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebut “Madzhab Muhammadiyah“, ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT (Himpunan keputusan Tarjih).
d. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang didapat ketika keputusan diambil, dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. (Seperti halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi, pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah dll).
e. Di dalam masalah aqidah ( Tauhid ), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir. (Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa’at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, ( siroth ) jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, ( haudh ) kolam nabi Muhammad saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara tidak langsung.
f. Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. ( Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah sahabat).
g. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u wa al taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih. ( Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq, diantaranya adalah : Pertama : Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara QS. Al Baqarah : 234 dengan QS. Al Thalaq : 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil, Kedua : Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama’ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara meng-taqyid sesuatu yang masih mutlaq, yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama’; antara larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama’ antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masing-masing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.
h. Menggunakan asas “ saddu al-dara’I “ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. ( Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.
i. Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah )
j. Pengunaaan dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum, dilakukan dengan cara konprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah. ( Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang bernyawa, jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan menyebabkan kesyirikan )
k. Dalil-dalil umum Al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan dalam point ke 5 )
l. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “ Taysir “ ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat )
m. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui, akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi. ( Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat, juga menggunakan metode al Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di Indonesia )
n. Dalam hal-hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.
o. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
p. Dalam memahani nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. ( Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah SWT, seperti Allah bersemayam di atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll )

Contoh Istinbat Hukum Majlis Tarjih Muhammadiyah
Penentuan awal ramadhan dan satu syawal
Majlis Tarjih Muhammadiyah berkaitan dengan masalah ini mendasarkan pada Al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni QS. Yunus : 5
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669]. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.”

Selanjutnya dalam hadits disebutkan


“puasalah karena melihat bulan (tanggal) dan berbukalah karena melihatnya, apabila terhalang penlihatanmu oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan sya’ban 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa penentuan awal bulan ramadhan maupun awal syawal, sebagian menentukan ru’yat menjelang akhir bulan Ramadhan atau Syawal. Dan kalau tidak melihat bulan, maka ditetapkan dengan istikmal. Sedankan sebagian lagi menentukan tanggal 1 ramadhan maupun 1 syawal dapat dengan ru’yat dan dengan hisab. Majlis tarjih dalam qararnya menyatakan demikian pula. Dengan catatan kata “faqduru” artinya kadarkanlah, yang berarti hitunglah (dengan ilmu hisab)
Dalam pemahaman Majlis Tarjih. Hadits tersebut dipahami bahwa kata “ru’yah” ini berarti memahami dengan akal. Dalam hal ini Majelis Tarjih memahami nash kemudian menggunakan akal atau ijtihad. Penentuan awal bulan ramadhan maupun syawal bukanlah pada masa sekarang saja. Dalam kitab bidayatul mujtahid susunan ibn Rusyd disebutkan bahwa penggunaan hisab sudah dilakukan sejak masa sahabat dan tabi’in dan dinyatakan bahwapenentuan awal bulan kalau dilakukan rukyat tidak melihat karena mendung, maka dengan melakukan hisab. Dalam sejarah manhaj ini, perhitungan hisab Majelis Tarjih selalu sesuai dengan hasil ru’yat, kecuali dalam saat yang kritis yakni mendung di seluruh wilayah Indonesia sehingga tidak dapat dirukyat.

C. BAHSUL MASAIL NAHDHOTUL ULAMA
NU (Nahdlatul Ulama) adalah sebuah organisasi Islam terkenal di Indonesia yang mempunyai basis kuat di daerah pedesaan, terutama di jawa dan madura, dimana organisasi ini berusaha memelihara tradisi keagamaan yang diwariskan oleh kaum ulama dari dahulu sampai sekarang. Sejak kejatuhan khilafah islamiyah dan lahirnya Negara nasional di dunia Islam, pemeliharaan syari’at Islam menjadi tanggung jawab ulama. Di Indonesia ulama berperan penting, karena dalam sejarah negeri ini pelaksanaan syari’at islam tidak pernah menjadi tanggung jawab penuh Negara.
Nahdlatul Ulama (NU), sebagai jam'iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima'iyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama'ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sebagai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqih ini, menunjukkkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajat) meskipun kenyataan keseharian ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i. Hampir dapat dipastikan bahwa Fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya konvensional - berpaling ke mazhab lain.
Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi ("maraji') berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ‘ibadah, mua'amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla (pidana atau peradilan).
Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).
Dalam memutuskan sebuah hukum, sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren. Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi'ah) yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi ataupun perorangan. Masalah-masalah itu setelah di inventarisasi oleh Syuriyah lalu diadakan skala prioritas pembahasannya. Dan apabila dalam pembahasan itu terjadi kemacetan (mauquf) maka akan diulang pembahasannya dan kemudian dilakukan ke tingkat organisasi yang lebih tinggi: dari Ranting ke Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurus Besar dan dari PB ke Munas dan pada akhirnya ke Muktamar.
Dari segi historis maupun operasionalitas, bahtsul masa'il NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan "berwawasan luas". Dikatakan dinamis sebab persoalan (masa'il) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan "berwawasan luas" sebab dalam forum bahtsul masa'il tidak ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh untuk menunjukkan fenomena "sepakat dalam khilaf" ini adalah mengenai status hukum bunga bank. Dalam memutuskan masalah krusial ini tidak pernah ada kesepakatan. Ada yang mengatakan halal, haram atau subhat. Itu terjadi sampai Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut tidak mengambil sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram atau subhat. Ini sebetulnya merupakan langkah antisipatif NU. Sebab ternyata setelah itu berkembang berbagai bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara profesional. Orang pada akhirnya tidak bisa menghindar dari persoalan bank.

Metode Istinbat Hukum Bahsul Masa’il
Pengertian istinbath hukum di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab - mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama (cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya muj'tahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath di kalngan NU terutama dalam kerja bahtsu masa'il-nya Syuriyah NU tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masa'il yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah (yang terjadi) melalui maraji'(referensi) yaitu kutubul-fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fiqih)
Dalam memahami islam, NU terkesan sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan masalah keagamaan yang dihadapi dengan langsung merujuk kepada al-Qur’an maupun Sunnah. Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa mata rantai perpindahan ilmu agama islam tidak boleh terputus dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Pengambilan keputusan NU dibuat dalam kerangka bermazhab pada salah satu mazhab empat. Dengan beberapa metode diantaranya:
a. Metode Qauli
Metode ini adalah suatu cara istinbat hokum yang digunakan oelh ulama/intelektual NU dalam Lajnah Bahsul Masa’il dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari mazhab empat, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain, mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup mazhab tertentu.
Contoh penerapan metode Qauliy adalah keputusan Muktamar I (Surabaya, 21-23 September 1926).
S (soal): Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk pendirian masjid, madrasah, atau pondok (asrama) karena itu semua termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
J (jawab): Tidak boleh. Karena yang dimaksud dengan “sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah da’if (lemah).
Keterangan: dari kitab Rahmatul Ummah dan Tafsir al-Munir Juz I

Dan mereka sepakat atas tidak bolehnya mengeluarkan (harta zakat) untuk mendirikan masjid atau mengafani (membungkus) mayat (rahmatul ummah)

Dan al-Qaffal mengutip dari sebagian fuqaha’, bahwa mereka memperbolehkan membelanjakan harta zakat untuk semua segi kebaikan, seperti mengafani mayat, membangun benteng dan memakmurkan masjid, karena firman Allah Swt. Fi sabilillah (dijalan Allah) itu mencakup semuanya (Tafsir al-Munir)

Jadi secara ringkas dapat dismpulkan bahwa metode yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il adalah dengan mengacu pada buni teks (qaul) dari kitab-kitab mazhab empat, dan karenanya disebut metode qauliy yang dalam tataran ijtihad dapat dipadankan dengan metode bayaniy. Akibatnya proses baths al-masa’il ini mirip dengan apa yang terjadi dalam gudang tempat persediaan beragam kebutuhan hidup masyarakat.

b. Metode Ilhaqi
Apabila metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu’tabar, maka dilakukan apa yang disebut dengan menyamakan hokum suatu kasus / masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus / masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya). Atau menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”.
Contoh penerapan metode ilhaqiy adalah yang diputuskan pada Muktamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927) mengenai hokum jual-beli petasan.
S (soal): Sahkah jual beli petasan (mercon-jw) untuk merayakan hari Raya atau Penganten dan lain sebagaina?
J (jawab): Jual-beli tersebut hukumnya sah! Karena ada maksud baik, ialah: adanya perasaan gembira menggembirakan hati dengan suara petasan itu.
Keterangan dalam kitab:
1) I’anah at-Talibin juz III / 121- 122:
“Adapun membelanjakan harta untuk bersedekah, aspek-aspek kebaikan, makanan, pakaian dan hadiah I yang tidak sesuai dengannya, maka tidak termasuk tindakan sia-sia. (Pendapatnya: tidak termasuk tindakan sia-sia) artinya menurut pendapat yang terkuat, karena di dalamnya mengandung tujuan yang benar, yaitu mendapatkan pahala bersenang-senang. Oleh karenanya dikatakan: dalam hal keabikan tidak ada yang dinamakan israf dan tidak ada kebaikan dalam israf”.

2) Al-Bajuriy / 652-654 bab perdagangan:
“Menjual sesuatu yang dapat dilihat artinya dapat dihadirkan (maka diprbolehkan) jika memenuhi syarat, yaitu barang yang dijual itu suci, dapat dimanfaatkan, dapat diserahkan dan dimiliki oleh pembeli“.

Dari segi argumentasi yang mengacu pada kitab-kitab rujukan, tidak ada rujukan yang menyebutkan secara jelas mengenai hokum jual beli petasan, yang ada hanyalah uraian singkat mengenai hokum bolehnya. Mentasarufkan harta untuk kebaikan dan kesenangan, sahnya menjual benda-benda yang dapat dihadirkan asal suci dan bermanfaat.

c. Metode Manhaji
Metode manhaji adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hokum yang telah disusun imam mazhab.
Contoh penerapan metode manhajiy adalah keputusan kongres / Muktamar I (1926):
S (soal): Dapat pahalakah sodaqoh kepada mayat?
J (jawab): Dapat!
Keterangan dalam kitab al-Bukhoriy bab “janazah” dan kitab al-muhadzdzab bab “wasiyat”:
Ibnu abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia dapat memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya? Maka beliau menjawab: ya, dapat. Dia berkata: sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kuperskaiskan kepadamu bahwasanya saya menyedekahkannya untuk dia.

Keputusan diatas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk pada hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat imam mazhab setelah al-Qur’an.

D. PENUTUP
Lajnah Tarjih Muhammadiyah menyimpulkan pendapat terkuat dalam memutskan masalah-malasah baru yang tidak pernah diputuskan oleh para mujtahid muslim di masa lalu. Di samping komite tarjih, lajnah tarjih Juga merupakan komite ijtihad kolektif yang dikenal di kalangan muhammadiyah dengan nama ijtihad jama’i. dalam hal ini lajnah tarjih menggunakan tiga jenis ijtihad (Ijtihad Bayani, Ijtihad Qiyasi, dan Ijtihad Istishlahi.
Adapun lajnah Bahsul Masa’il adalah salah satu lembaga jami’iyyah Nahdotul Ulama yang menghimpun, membahas dan memutuskan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum, dengan mengacu pada madzhab empat (Hanafi, maliki, syafi’I dan hanbali). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).
Dalam memutuskan sebuah hukum, sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat).


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi,( Jokyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, Cet I )
Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan , 2000)
Azhar, Muhammad, Fiqh Peradaban (Yogakarta: ITTAQA Press, 2001)
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Prespektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta : Universitas Yarsi 1999)
Ridwan, Paradigma politik NU, (Yogakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani Independensi, Rasionalitas, dan Pluralisme (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005)
Zahra, Ahmad, Tradisi Intelektual NU (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004)
Metode Istinbath Muhammadiyah, NU dan MUI
Pembicara : Rumadi, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Waktu: Jumat, 25 Februari 2005/ 16.00 - 18.00 WIB
Tempat : Kantor The Wahid Institute

The Wahid Institute kembali menggelar diskusi mingguan, Jum’at (25/2/2005). Kali ini, tema yang diusung terkait Metode Istinbath Muhammadiyah, NU, dan MUI. Tema ini perlu diangkat, mengingat tiga lembaga keagamaan yang menjadi rujukan hukum bagi kaum muslim Indonesia ini memiliki metode istinbath (proses penggalian hukum) masing-masing. Istintbath a la Muhammadiyah misalnya, secara umum berbeda dengan a la Nahdlatul Ulama (NU) dan Majlis Ulama Indonesia (MUI), begitu pun sebaliknya. Karenanya, penelusuran metode istinbath tiga lembaga itu penting untuk memahami alur keputusan hukum yang dihasilkan ketiganya.
Di samping itu, tanpa bermaksud mengenyampingkan lembaga-lembaga keagamaan yang lain, tiga institusi ini kenyataannya menjadi “arus utama” kehidupan umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu, wajah perkembangan hukum Islam di Indonesia pada tingkat tertentu dapat dilihat dari dinamika yang terdapat dalam tiga lembaga tersebut.
Istinbath Muhammadiyah
Menelusuri metode istinbath Muhammadiyah, tidak bisa terlepas dari peran Majlis Tarjih (selanjutya disingkat MT), lembaga yang berfungsi sebagai “pabrik hukum”. Sebelum keputusan final sebuah hukum digulirkan kepada publik, terlebih dahulu para cendekiawan Muhammadiyah melakukan penggodokan secara serius dan matang di dalam MT ini. Di sanalah, proses-proses istinbath dipraktekkan.
Secara harfiyah, pada mulanya tarjih bermakna “membandingkan pendapat satu dengan yang lain untuk memilih pendapat yang paling kuat.” Dengan kata lain, tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua pendapat atau lebih dengan argumen tertentu. MT pada mulanya memang tak lebih sebagai lembaga untuk menguatkan satu dari beberapa pendapat yang sudah ada sebelumnya. Namun pada perkembangannya, MT tidak lagi sekedar menguatkan pendapat-pendapat yang telah ada itu, melainkan juga turut ber-ijtihad dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang ditemukan.
Peran seperti ini diawali pada 1960-an, terkait persoalan perburuhan, pembatasan kelahiran, dan hak milik. Pada 1968, bahkan MT berhasil menetapkan hukum atas isu-isu kontemporer, seperti bunga bank, judi nalo dan lotre, KB, dan sebagainya. Dengan demikian, makna tarjih itu sendiri telah mengalami perluasan, tidak sekedar “menguatkan” dan “memilih” salah satu dari berbagai pendapat, tapi juga berfungsi “mencari” untuk memecahkan masalah baru. Karena itulah, MT kemudian diklaim oleh Muhammadiyah sebagai lembaga ijtihad, sebuah penamaan yang sangat prestisius. Muhammadiyah memang dikenal sebagai lembaga yang tidak canggung dengan istilah ijtihad karena mereka berkeyakinan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka lebar.
Adapun runtutan istinbath yang dicanangkan MT, pertama melalui al-Qur’an dan Sunnah Shahihah, dengan “mengabaikan” pendapat-pendapat para imam fiqih pasca masa sahabat Rasulullah. Hal ini terkait dengan genealogi intelektualisme Muhammadiyah yang memang kurang begitu memberi apresiasi terhadap perkembangan fiqih pada periode yang mereka sebut sebagai periode taqlid (sekitar abad 10 M-18 M). Rentang ini dianggap sebagai periode dimana Islam bercampur-baur dengan apa yang disebut takhayul, bid’ah, dan khurafat.
Oleh karena itu, bila ada persoalan hukum baru yang mengemuka, maka selalu dicarikan jawabannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Namun, semua orang tahu bahwa tidak semua persoalan dapat dicarikan jawabannya secara langsung dalam al-Qur’an dan Sunnah karena keterbatasannya. Jika tidak ditemukan jawabannya secara langsung dalam al-Qur’an dan Sunnah MT menggunakan ijtihad dengan istinbath dari nash (teks) yang ada melalui persamaan ‘illat (alasan hukum) . Dengan demikian, ¬kendati qiyas (analogi) tidak diakui secara langsung, namun dalam prakteknya tetap dikembangkan Muhammadiyah dalam menetapkan hukum. Sedangkan ijma’, Muhammadiyah hanya menerima ijma’ al-shahabah (kesepakatan sahabat) yang mengikuti pandangan Ahmad bin Hanbal, yang berarti bahwa ijma’ tak mungkin terjadi pasca generasi sahabat Rasulullah (Khulafa ur- Rasyidin).
Almarhum KH Azhar Basyir, Mantan Ketua PP Muhammadiyah pernah menyatakan, MT menempuh jalur ijtihad yang meliputi; Pertama, ijtihad bayani, yakni ijtihad terhadap nash mujmal (teks yang ambivalen) , baik karena belum jelas makna/maksudnya, maupun karena suatu lafal tertentu mengandung musytarak (makna ganda), mutasyabih (multi tafsir), dan lain sebagainya. Kedua, ijtihad qiyasi, yakni menganalogikan apa yang disebut dalam nash pada masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, karena persamaan ‘illat. Ketiga, ijtihad istishlahi, yakni pencarian maslahat berupa perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Berdasarkan kenyataan ini, meski Muhammadiyah memproklamirkan diri tidak bermazhab, toh dalam praktiknya Muhammadiyah tidak dapat melepaskan diri dari pemikiran mazhab, meskipun hanya pada tingkat metode atau yang akrab disebut mazhab ma nhaji.
Hal lain yang cukup menarik, misalnya terkait fatwa Muhammadiyah tentang nikah beda agama, antara lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi). Kendati al-Qur’an terang membolehkan, fatwa Muhammadiyah pada tahun 1989 itu justru mengharamkan. Ayat al-Qur’an yang membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5) itupun “diparkir” dengan alasan hifdz al-din (memelihara agama). Muhamadiyah menyimpulkan –walaupun tanpa melalui penelitian empirik- bila pernikahan itu dibenarkan, dikuatirkan anaknya akan mengikuti agama ibunya. Sehingga, peluang kekuatiran ini harus buru-buru ditutup. Pengharaman seperti inilah yang mereka sebut sebagai haram li sadd al-dzari’ah (mencegah sesuatu yang dikhawatirkan akan terjadi). Ini artinya, bagi Muhammadiyah, haram li sadd dzari’ah dapat mengalahkan ayat yang sudah menyebutkan kebolehan menikahi perempuan ahl al-kitab. Menurut Rumadi, ini jalan berpikir yang luar biasa, karena dengan sadd al-dzari’ah dijadikan sebagai argumen untuk menutup bunyi eksplisit sebuah nash. Dalam kasus ini, Muhammadiyah dengan berani melakukan naskh al-nushush bi sadd al-dzari’ah. Sayangnya, Muhammadiyah tidak cukup mempunyai keberanian untuk mengembangkan hal ini.
{mospagebreak}
Istinbath NU
Bila Muhammadiyah memiliki “pabrik hukum” bernama MT, maka NU memiliki pabrik serupa bernama Bahtsul Masail –pembahasan masalah (selanjutnya disingkat BM). Meskipun NU mengakui al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam, namun dalam prakteknya, istinbath al-ahkam di kalangan NU tidak lantas dipahami sebagai “mengambil hukum secara langsung dari kedua sumber primer di atas, tetapi penggalian hukum dengan men-tathbiq-kan (menerapkan) nash al-fuqaha’ –terutama di lingkungan Mazhab Syafi’i– secara dinamis, dalam konteks permasalahan hukumnya.” Dengan pengertian istinbath ini, wajar bila keputusan-keputusan hukum NU tidak merujuk langsung pada kedua sumber utama tadi, tapi merujuk pada kutub al-fiqh al-mu’tabarah (kitab fiqih yang diakui NU). Sedangkan ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqhiyyah diposisikan sebagai penguat keputusan hukum yang diambil.
Istinbath seperti ini dilakukan NU, lantaran ijtihad muthlaq dianggap terlampau berat dan sulit. Sebab, ijtihad muthlaq harus dilakukan mujtahid yang telah menguasai ragam keilmuan agama dan perangkat-perangkatnya. Tembok keterbatasan inilah yang tidak bisa ditembus orang-orang saat ini. Di samping itu, ijtihad dalam koridor mazhab tertentu memang praktis, juga dapat ditempuh semua ulama NU yang memahami ibarat (uraian) kitab-kitab fiqih. Atas dasar itu pula, klaim istinbath tidak begitu populer di kalangan ulama NU, sehingga boleh jadi BM menjadi kata kunci untuk menghindar dari term ijtihad dan istinbath itu sendiri.
Dengan demikian, berbeda dengan Muhammadiyah yang mengembangkan mazhab manhaji ( bermazhab pada metode), konsep mazhab dalam NU lebih pada mazhab qauli (bermazhab pada pendapat hukumnya), kendati pada Munas Alim Ulama NU 1992 mulai terjadi pergeseran dengan diperkenalkannya istilah mazhab manhaji. Hanya saja dalam prakteknya, ijtihad manhaji ini masih “setengah hati.”
Adapun rumusan sistem pengambilan hukum yang dihasilkan Munas Alim Ulama 1992 itu adalah: 1) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana hanya terdapat satu qaul/wajh (satu jenis pendapat), maka qaul/wajh yang dipakai seperti yang diterangkan dalam ‘ibarat tersebut. 2) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajh, maka dilakukan taqrir jama’i (ketetapan bersama) untuk memilih satu qaul/wajh. 3) Dalam kasus tidak ada qaul/wajh sama sekali yang memberi penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaq al-masail bi nadhairiha (analogi dari kitab fiqih) oleh para ahlinya. 4) Dalam kasus yang tidak ada qaul/wajh sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbath jama’i (penggalian hukum secara kolektif) dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya. Koridor mazhab yang dipakai dalam konteks ini adalah Mazhab Syafi’i. Karena itu, keputusan hukum yang diambil NU jarang yang langsung merujuk pada al-Qur’an atau Sunnah, tapi lebih dominan merujuk pada qaul imam mazhab.
Kenyataan ini menunjukkan, BM dalam NU belum dapat dikatakan memuaskan, baik untuk kepentingan ilmiah maupun sebagai upaya praktis menghadapi tantangan zaman. Praktik istinbath seperti ini mencerminkan problem metodologis, karena berarti NU hanya terpaku dan terikat pada satu mazhab (Syafi’i) meski AD/ART NU memungkinkan untuk mengikut mazhab yang lain. Ketidakpuasan juga muncul, lantaran cara berfikir yang tekstual dan cenderung menafikan realitas yang tidak sesuai dengan rumusan kitab kuning, tanpa memberi jalan keluar.
{mospagebreak}
Istinbath MUI
Terlepas dari adanya motif politik di balik pembentukan MUI, yang jelas majlis para “ulama Indonesia” ini telah menjadi salah satu lembaga penghasil hukum Islam melalui Komisi Fatwa-nya. Pada awalnya MUI, juga dapat dianggap sebagai “sintesa” dari lembaga-lembaga seperti NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, dan sebagainya. Karena pluralitas anggotanya, fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya merefleksikan keragaman pendapat dan kecenderungan intelektual yang menjadi anggota organisasi Islam itu. Dengan kata lain, Komisi Fatwa dapat dikatakan sebagai “panci pelebur” (melting pot) yang mempertemukan tradisi fiqih oriented dan akademisi Islam dengan penguasaan metodologi yang relatif baik. Sehingga, dalam MUI seharusnya terjadi peleburan antara kecenderungan NU yang teguh memegang tradisi intelektual ulama klasik, dan paham Muhammadiyah yang melulu memegang al-Qur’an dan Sunnah.
Almarhum Ibrahim Hosen, mantan Ketua Komisi Fatwa MUI 1981, menyatakan; pemeliharaan atas dharuriyyatal-khams (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) sangat diperhatikan MUI tiap mengeluarkan fatwa. Artinya, tiap fatwa MUI diharapkan mampu mewujudkan kemaslahatan dimaksud, baik yang ukhrawi maupun dunyawi. Akan tetapi, jika terjadi benturan antara maslahat non-syar’iyyah dengan nash qath’iy (teks yang sudah jelas), MUI tidak akan menggunakan maslahat, karena kemaslahatan hanya ditetapkan akal, sedang nash qath’iy oleh wahyu.
Sisi keunggulan MUI dalam istinbath yang bersifat “lintas mazhab” dan tidak mepunyai keterikatan dengan mazhab fiqih tertentu, maka fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya mencerminkan keragaman dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Dalam prakteknya, potensi keunggulan metodologis ini tidak mempunyai dampak apapun karena fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan MUI senantiasa diwarnai oleh kepentingan politik tertentu, baik kepentingan rezim, maupun kepentingan para elit MUI sendiri. Di samping itu, fatwa MUI juga seringkali sekedar “berpendapat” tanpa memberi solusi atas problem masyarakat. Dominasi kepentingan rezim dapat kita lihat terutama fatwa-fatwa MUI zaman Orde Baru; dominasi kepentingan elit MUI dapat dilihat dalam pengharaman umat Islam bertransaksi dengan bank konvensional pada awal 2003 lalu. Sedangkan fatwa pengharaman pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri hanya karena tidak ada mahram dapat ditunjuk sebagai contoh bahwa MUI sekedar mengeluarkan hukum “halal-haram” dalam masalah sosial tanpa memberi solusi yang memuaskan.
Kelemahan
Pada kesempatan yang sama, Rumadi juga menyoroti sisi-sisi kelemahan ketiga lembaga pemroduk hukum di atas. Menurutnya, secara umum kelemahan Muhammadiyah, NU, dan MUI, meliputi: pertama, ketiganya mengukur sebuah pendapat hukum dari segi ke-manqul- annya, yaitu sejauhmana pendapat itu bisa dibenarkan secara teks al-Qur’an dan Sunnah. Bila pembenaran secara manqul sudah ditemukan, argumentasi itu sudah dianggap cukup dan tidak butuh argumen lain. Kedua, pengukuran argumen secara ma’qul (reasoning) kurang diindahkan, karena ma’qul harus ditundukkan oleh manqul. Ketiga, landasan etik penetapan hukum nyaris tak pernah disentuh. Sebagai misal, fatwa MUI tentang keharaman TKW, bila tak disertai mahram. Secara manqul, barangkali keputusan itu ada benarnya. Tapi secara ma’qul mulai agak lemah, apalagi sisi etiknya, karena fatwa itu tidak menghasilkan solusi apapun bagi TKW yang kesulitan mencari penghidupan dinegerinya sendiri. Dalam kasus TKW, tentu saja tidak cukup hanya dengan memberi hukum halal atau haram.
METODE ISTINBATH HUKUM DEWAN HISBAH
Posted on June 7, 2008 by rabbany1981
Metode (manhaj) resmi yang dipergunakan oleh Dewan Hisbah dalam memutuskan atau mengambil keputusan hukum, dengan dasar utama adalah al-Quran dan Hadits shahih, dengan rumusan sebagai berikut:
Dalam ber-istidlal dengan al-Quran:
1. Mendahulukan zhahir ayat al-Quran daripada ta’wil dan memilih cara-cara tafwidh dalam halhal yang menyangkut masalah i’tiqadiyah.
2. Menerima dan meyakini isi kandungan al-Quran sekalipun tampaknya bertentangan dengan ‘aqly dan ‘ady, seperti masalah Isra dan Mi’raj.
3. Mendahulukan makna haqiqi daripada makna majazi kecuali jika ada alasan (qarinah), seperti kalimat: “Aw lamastumun nisa” dengan pengertian bersetubuh.
4. Apabila ayat al-Quran bertentangan dengan Hadits, didahulukan ayat al-Quran sekalipun Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih, seperti hal menghajikan orang lain.
5. Menerima adanya nasikh dalam al-Quran dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansukh (naskh al-kulli).
6. Menerima tafsir para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Quran (tidak hanya penafsiran ahl al-bait) dan mengambil penafsiran sahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan sahabat.
7. Mengutamakan tafsir bi al-Ma’tsur daripada bi ar-Ra’yi. Menerima Hadits-Hadits sebagai bayan terhadap al-Quran, kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan shighat hasr, seperti ayat tentang makanan yang diharamkan.
Dalam ber-istidlal dengan Hadits:
1. Menggunakan Hadits shahih dan hasan dalam mengambil keputusan hukum.
2. Menerima Kaidah: Al-haditsu aldhaifatu yaqwa ba’duha ba’-dhan, jika kedha’ifan hadits tersebut dari segi hafalan perawi (dhabth) dan tidak bertentangan dengan al-Quran atau Hadits lain yang shahih. Adapun jika kedha’ifan itu dari segi tertuduh dusta (fisq al-rawi), maka kaidah tersebut tidak dipakai.
3. Tidak menerima Ka’idah: Al-haditsu al-dha’ifu ya’malu fi fadhail al-’amali, karena yang menunjukkan fadha’il al-’amal dalam Hadits shahih pun cukup banyak.
4. Menerima Hadits shahih sebagai tasyri’ yang mandiri, sekalipun bukan merupakan bayan al-Quran.
5. Menerima hadits Ahad sebagai dasar hukum selama kualitas hadits tersebut shahih.
6. Hadits Mursal Shahabi dan Mauquf bi Hukm al-Marfu’ dipakai sebagai hujjah selama sanad Hadits tersebut shahih dan tidak bertentangan dengan Hadits lain yang shahih.
7. Hadits Mursal Tabi’i dijadikan hujjah apabila Hadits tersebut disertai qarinah yang menunjukkan ketersambungan sanad (ittishal) Hadits tersebut.
8. Menerima kaidah: Al-jarh muqaddamun ‘ala al-ta’dil dengan ketentuan sebagai berikut:
8.a. Jika yang men-jarh menjelaskan jarh-nya (mubayan al-sabab), maka jarh didahulukan daripada ta’dil.
8.b. Jika yang men-jarh tidak menjelaskan sebab jarh-nya, maka ta’dil didahulukan daripada jarh.
8.c. Bila yang men-jarh tidak menjelaskan sebab jarh-nya, tapi tidak ada seorang pun yang menyatakan tsiqat, maka jarh-nya bisa diterima.
9. Menerima kaidah tentang sahabat: Al-sahabatu kulluhum ‘udul.
10. Riwayat orang yang suka melakukan tadlis diterima, jika menerangkan bahwa apa yang diriwayatkannya itu jelas shigat tahamul-nya menunjukkan ittishal, seperti menggunakan kata: hadzatsani.
Adapun dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak ditemukan nashnya yang tegas (sharih) dalam al-Quran dan al-Hadits, ditempuh dengan cara ijtihad jama’i, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
1. Tidak menerima ijma’ secara mutlak dalam masalah ibadah kecuali ijma’ sahabat.
2. Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdlah, sedangkan dalam ibadah ghair mahdlah, qiyas diterima selama memenuhi persyaratan qiyas.
3. Dalam memecahkan ta’arud al-’adilah diupayakan dengan cara:
3.1. Thariqat al-jami’, selama masih mungkin di-jam’u.
3.2. Thariqat at-tarjih, dari berbagai sudut dan seginya, mialnya:
3.2.a. Mendahulukan al-Mutsbit daripada an-Nafi.
3.2.b. Mendahulukan hadits-hadits riwayat shahihain daripada diluar shahihain.
3.2.c. Dalam masalah-masalah tertentu, hadits yang diriwayatkan oleh Muslim lebih didahulukan daripada riwayat Bukhari, seperti dalam hal pernikahan Nabi dengan Maemunah.
3.2.d. Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid’ah lebih didahulukan daripada mengamalkan sesuatu yang diragukan sunnahnya.
3.3. Thariqat an-naskh, jika diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian.
4. Dalam membahas masalah ijtihad, Dewan Hisbah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih sebagaimana lazimnya para fuqaha.
5. Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri padasuatu madzhab, tetapi pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dalam ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam rumusan-rumusan ini, dijelaskan pula catatan penting, antara lain bahwa sekalipun para ulama Persatuan Islam telah sepakat dengan metode tersebut, namun belum tentu hasil ijtihadnya sama, karena masih bergantung kepada ketepatan, keahlian, kejelian, ketelitian, dalam mengambil suatu keputusan dan meninjau dari berbagai sudut pandang. Untuk itu, dalam musyawarah diperlukan jiwa yang terbuka, berani mengoreksi pendapat orang lain, dan rela menerima koreksi andai kata hasil ijtihadnya keliru.
(Sumber : Pandangan Keagamaan PERSATUAN ISLAM Sejarah, Pemikiran, dan Fatwa Ulamanya; Cetakan I, Juni 2005/Rabiuts Tsani 1426 H. Badri Khaeruman, Drs. M.Ag. Granada)
MUI DAN METODE ISTINBATH HUKUM-NYA
Ditulis oleh Zaenul Mahmudi
Senin, 05 April 2010 09:29
A. Latar Belakang
Sejak dahulu kala, ulama memiliki posisi yang penting dan menentukan di Indonesia. Pada masa colonial dan pada masa sebelumnya, pada masa kerajaan Islam, ulama memiliki peran signifikan di masyarakat, baik dalam bidang politik maupun sosial. Kerajaan Islam di Indonesia, sebagian besar dimotori oleh para ulama dalam pendiriannya. Menurut Mudzhar, pada abad ke-18, ketika kerajaan Islam telah dikuasai dan dikendalikan oleh Penjajah Belanda, peran ulama dibatasi pada masalah keagamaan dan isu-isu yang bersifat local, bahkan hanya boleh mengurusi pesantren yang dimilikinya.[1]
Pada masa-masa berikutnya, peran ulama kembali meluas dalam masalah-masalah politik, terutama setelah terjadi hubungan yang baik antara Indonesia dan Mekkah melalui rutinitas ibadah tahunan, yaitu ibadah haji. Gerakan politik yang dilakukan oleh para ulama diwujudkan dalam gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan dari kungkungan penjajah Belanda, baik yang bersifat kedaerahan, maupun yang bersifat nasional.
Peran strategis yang dimiliki oleh ulama, adalah kemampuannya untuk melakukan mobilisasi massa. Dengan kewibawaan yang dimilikinya dan kepercayaan yang diberikan oleh para santri dan masyarakat, ulama atau kiai mampu menggerakkan massa secara cepat untuk berperang melawan penjajah Belanda. Peran ini menunjukkan bahwa peran kiai tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga peran politik.

B. Berdirinya MUI
Ketika peran ulama berangsur-angsur disingkirkan dari kehidupana politik yang mengharsukan mereka menarik diri dari kehidupan politik praktis, pada masa awal orde baru. Maka untuk mengukuhkan peran ulama di masyarakat diperlukan suatu lembaga yang cakupan wilayahnya bersifat nasional. Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam pada tanggal 30 September sampai 4 Oktober 1970 disepakati bahwa untuk mengusung persatuan umat Islam perlu dibentuk Majelis Ulama Indonesia yang memiliki fungsi untuk memberikan fatwa yang disepakati oleh semua golongan, sehingga perpecahan di antara mereka bisa dihindari.
Selama empat tahun, keinginan para peserta konferensi yang diselenggarakan Pusat Dakwah Islam, tersebut tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Baru pada tahun 1974, Presiden Soeharto dalam pembukaan seminar nasional bagi para da’i menekankan pentingnya lembaga nasional yang mewadahi para ulama yang merepresentasikan para umat muslim yang memiliki latar belakang dan paham keagamaan yang berbeda-beda. Saran ini disambut oleh para ulama, yang pada tanggal 24 Mei 1975, para delegasi yang mewakili Dewan Masjid Indonesia menghadap Presiden Soeharto, di mana dalam penyambutannya, dia menekankan kembali pentingnya suatu wadah ulama yang bersifat nasional. Keinginan Presiden Soeharto untuk menderikan suatu wadah untuk para ulama ini adalah karena: a) Keinginan Pemerintah Indonesia untuk melihat kokohnya persatuan umat Islam, dan b) Kesadaran bahwa banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia tidak bisa dipecahkan tanpa melibatkan peran ulama.
Guna menindaklanjuti keinginan Presiden Soeharto mengenai pembentukan wadah bagi ulama se-Indonesia ini, maka Menteri Dalam Negeri yang waktu itu dijabat oleh Amir Machmud menginstruksikan kepada para gubernur untuk mendirikan majelis ulama ditingkat propinsi. Instruksi ini mendapat sambutan yang baik, sehingga tidak berapa lama, pada bulan Mei 1975, majelis ulama tingkat propinsi sudah berdiri di 26 propinsi di Indonesia untuk mendukung berdirinya majelis ulama di tingkat nasional.
Keinginan untuk mendirikan majelis ulama di tingkat nasional ini semakin nyata ketika pada tanggal 1 Juli 1975, Menteri Agama Republik Indonesia atas nama pemerintahan RI membentuk kepanitiaan yang bertugas untuk mempersiapkan pendirian majelis ulama di tingkat nasional ini. Ada empat orang yang ditunjuk untuk menjadi panitia, yaitu H. Sudirman (seorang pensiunan jenderal Angkatan Darat) sebagai ketua, Dr. Hamka, KH. Abdullah Syafi’i, dan KH. Syukri Ghazali sebagai penasehat.
Berdasarkan rapat kepanitiaan yang berkali-kali diselenggarakan, maka disepakati untuk diselenggarakan Konfrensi Nasional Ulama yang diselenggarakan selama satu minggu, 21-27 Juli 1975. Konferensi Nasional Ulama tersebut diikuti oleh 53 orang dengan perincian: a) 26 ulama yang mewakili 26 propinsi, b) 10 orang mewakili organisasi keagamaan yang berpengaruh di Indonesia: NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, al-Washliyyah, Mathlaul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al-Ittihadiyah, c) 4 orang ulama yang berasal dari para rohaniawan Islam; AD, AU, AL, dan POLRI, dan d) 13 orang tokoh cendekiawan muslim.[2] Pada akhirnya, semua peserta konferensi sepakat untuk membentuk wadah ulama di tingkat nasional yang diberi nama Majelis Ulama Indonesi (MUI) menjelang berakhirnya konferensi tersebut, yaitu pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan tanggal 7 Rajab 1395 H. di Jakarta dengan Ketua pertamanya dipilih Dr. Hamka.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar [3]
C. Urgensi Majelis Ulama Indonesia
Perkembangan keilmuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dekade belakangan ini, di samping mendatangkan kemudahan, efektifitas dan efisiensi pekerjaan dan urusan kemanusiaan, namun juga mendatangkan permasalahan-permasalahan barus yang sebelumnya tidak ada. Permasalahan tersebut meningkat tajam dan semakin komplek yang perlu segera dipecahkan oleh lembaga yang kapabel untuk memecahkan permasalahan tersebut sesuai dengan aspirasi mayoritas masyarakat yang beragama Islam.
Patut disyukuri, bahwa permasalahan kemasyarakatan dan kebangsaan yang dialami oleh umat muslim, tidak malah menjauhkan mereka dari agama, justru fenomenanya masalah tersebut mendekatkan mereka kepada ajaran Islam, untuk mencari jawaban dari agama Islam yang dipeluknya. Mereka membentuk kelompok-kelompok kajian keislaman yang berusaha mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Masyarakat muslim, tidak semuanya memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam, meskipun ghirah keagamaan mereka tinggi. Oleh karena itu, ghirah yang baik dari umat Islam ini perlu segera ditanggapi oleh para ulama yang notabene memiliki kapabilitas untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapai oleh masyarakat muslim.
Para ulama tidak boleh membiarkan umat Islam berada dalam kebingungan dalam menghadapi permasalahan yang mereka hadapi, apalagi membiarkan mereka terjerumus dalam kesesatan, karena memutuskan secara salah terhadap permasalahan mereka. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabene merupakan perkumpulan para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada umat Islam yang lain untuk memberi jawaban dan menunjukkan kepada jalan yang benar atas permasalahan yang dihadapi umat.

D. Metode Penetapan Fatwa
Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:
1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzari’ah.
3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan.[4]

Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI ini adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketikan menetapkan fatwa, di samping itu juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidak cenderung kepada dua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.
Dalam menetapkan suatu fatwa, MUI harus mengikuti prosedur penetapan fatwa yang telah digariskan, sebagaimana yang tercantum pada bagian ketiga pasal 3 sampai dengan pasal 5 dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berbunyi:
Pasal 3

1. Setiap masalah yang disampaikan kepada Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (qath’iy) hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui nashnya dari Al-Qur’an dan Sunnah.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatkan fiqih muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan.

Pasal 4

Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif, serta memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam siding, Komisi menetapkan fatwa.

Pasal 5
1. Setiap Keputusan Fatwa harus di-tanfidz-kan setelah ditandatangani oleh Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).
2. SKF harus dirumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat luas.
3. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber pengambilannya.
4. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan rekomendasi dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF tersebut.

Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia Daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut permasalahan umat Islam Indonesia secara nasional dan/atau masalah-masalah keagamaan yang terjadi di daerah, namun efeknya dapat meluas ke daerah-daerah lain, bahkan masalah-masalah tersebut bisa menasional.
Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya. Namun ketika keputusan MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka kedua pihak perlu bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan tersebut tidak membingungkan umat Islam.[5]

E. Fenomena di Lapangan
Meskipun MUI telah memiliki dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa sebagaimana yang tertuang dalam keputusan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 tertanggal 2 Oktober 1997, namun di lapangan dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa tersebut tidak diimplementasikan secara penuh dan konsisten. Dalam pengamatan Atho Mudzhar, ada fatwa yang langsung merujuk kepada hadits, tanpa meninjau ayat al-Qur’an, ada pula fatwa yang langsung merujuk kepada kitab fikih, tanpa melihat kepada sumber yang lain, dan ada juga fatwa yang tidak memberikan dasar dan argument sama sekali, namun langsung menyebut dictum fatwa tersebut, sebagaimana kebolehan memutar film The Message karena tidak memperlihatkan wajah Nabi Muhammad.[6] Padahal banyak hadits yang berisi larangan untuk melukis wajah Rasulullah, namun dalam Surat Keputusan Fatwa tersebut hadits ini tidak ditampilkan. Fatwa mengenai kehalalan daging kelinci juga tidak dilakukan menurut dasar dan prosedur yang benar, SKF ini hanya menampilkan hadits yang ada di kitab Nail al-Authar, tanpa menyebutkan keumuman ayat.
Berdasarkan kajiannya terhadap fatwa MUI antara tahun 1975 – 1988 atau dari 22 fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI, Atho’ Mudzhar mengatakan bahwa kebanyakan fatwa MUI didasarkan kepada qiyas, karena qiyas memang ampuh untuk memecahkan permasalahn baru yang belum ada nashnya di dalam al-Qur’an dan Hadits. Namun, dalam pandangannya penerapan qiyas tidak tepat, seperti adanya ketidaksamaan illat antara maqis fih dan maqis alaih. Seperti keputusan MUI mengenai kebolehan membudidayakan kodok yang diqiyaskan dengan menyamak kulit. Ketidaktepatan tersebut adalah karena pembudidayaan kodok adalah untuk dimakan, sementara penyamakan kulit hanya untuk dipakai saja. Padahal menurut Atho Mudzhar, pembudidayaan kodok atau makan daging kodok lebih tepat apabila diqiyaskan dengan pembudidayaan dan memakan kepiting.[7]
Dalam menetapkan hukum pembudidayaan kodok, yang tujuan akhirnya adalah dimakan, maka perlu diputuskan dahulu mengenai kehalalan kodok tersebut. Memakan daging kodok adalah diharamkan menurut mazhab Syafi’i, namun diperbolehkan menurut mazhab Maliki. Faktanya MUI menghalalkan pembudidayaan kodok, namun mengharamkan untuk memakannya. Pembudidayaan kodok diperbolehkan untuk mengambil manfaatnya, namun tetap tidak boleh dimakan.[8] Permasalahannya mengapa MUI tidak langsung mengambil pendapatnya Imam Malik yang membolehkan memakan daging kodok, yang berarti juga boleh membudidayakannya, baik diambil manfaatnya maupun untuk dimakan.
MUI dalam prakteknya juga mendasarkan kepada madzhab yang berada di luar mainstream madzhab yang berada di Indonesia ketika MUI mengambil pendapat madzhab Zahiri dalam menetapkan keharusan musafir untuk melaksanakan shalat Jum’at.
[1] Mohamad Atho Mudzhar, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, Los Angels: University of California, 1990, hal. 92
[2] http://www.mui.or.id/konten/mengenai-mui/sekilas-tentang-kami tanggal 6 Nopember 2008
[3] Ibid
[4] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003, hal. 4-5
[5] Ibid, hal. 7
[6] H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, hal. 134
[7] Ibid, hal. 135
[8] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan…., hal. 207-208

Perjalanan Filsafat Dalam Pemikiran Islam

Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman, adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti difahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa tidak terpengaruh oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan.

Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani

Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kal�m (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata�E(699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M). Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinb�th) dengan istilah-istilah seperti istihs�n, istishl�h, qiy�s dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinb�th dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi�i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.

A. Sumber Pemikiran Rasional Islam.
Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri berawal? Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim, pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takw�. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha �keluar�Edari makna lahiriyah (zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiy�s (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata �mukmin�Edan �muslim�Edalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak?

Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku. Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat program penterjemahan.

B. Filsafat Yunani dalam Pemikiran Islam.

Peradaban dan pemikiran Yunani, termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan, telah mulai di kenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq) sejak abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Setidaknya ini bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht (w. 667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang di terjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam periode ini, yakni masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya pada masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab. Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan metode filsafat ini sendiri, di dasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada, bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang --kurang lebih-- hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah �zindiq�E Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari sistem berfikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itu, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama.
Selanjutnya, metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh al-Kindi (806-875). Dalam kata pengantar buku �Filsafat Pertama�E(al-Falsafat al-�la), yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim (833-842), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam; kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, apa ada hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya.
Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Arab-Islam adalah setelah masa al-Razi (865-925). Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan --pada prinsipnya- dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.
Meski demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu Yunani dalam Islam berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibn Hanbal (780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Menurut George N. Atiyeh, penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya maupun faham-faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibn Rawandi (lahir 825 M). Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syareat-syareat yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal; akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya. Contoh lain adalah al-Razi (865-925 M). Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. (2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka, (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan.
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibn Hanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks (salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Muktazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi �revolosi�E orang-orang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru istana karena tidak sefaham dengan sang khalifah yang salaf.
Terkena tindakan keras dan resmi pemerintah tersebut, untuk sementara, khususnya di ibu kota Baghdad, filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tidak mengalami perkembangan berarti, karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, yakni al-Farabi (870-950). Tokoh yang dikenal sebagai folosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai �guru kedua�E(al-mu`allim al-ts�ni) setelah Aristoteles sebagai �guru pertama�E(al-mu`allim al-aww�l).
Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama; teologi (ilm al-kal�m) dan yurisprodensi (fiqh), yang tidak mempergunakan metode burhani. Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu-ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa. Yang termasuk ilmu-ilmu filsafat adalah metafisika, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu politik. Sampai disini filsafat Yunani telah memperoleh tempat dan posisi yang cukup mapan dalam percaturan pemikiran Arab-Islam. Dukungan dan pembelaan yang ketat dari al-Farabi telah menyebabkan filsafat memperoleh tempat yang demikian, bahkan melebihi posisi ilmu-ilmu yang diklaim sebagai ilmu religius.
Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang tidak lama, pemikiran filsafat Yunani segera menduduki posisi puncak dalam percaturan pemikiran Arab-Islam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus, dimana dalam bangunan tersebut digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi. Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut �akal�E berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian diberi gelar �Guru Utama�E(al-Syaikh al-Rais).
Akan tetapi, segera setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tah�fut al-Fal�sifah yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlal�l, al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat, juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM) yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashf�Efi `ul�m al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani. Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai �Hujjat al-Isl�m�Etelah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat. Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun, jika ada kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisi sejarahnya, bukan metodologi, sistematika atau substansi pemikirannya.
Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibn Rusyd (1126-1198). Lewat tulisannya dalam Tah�fut al-Tah�fut, Ibn Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena menurut Nurcholish, balasan yang diberikan Ibn Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neo-platonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi Arab-Islam, Ibn Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam.
Setelah Ibn Rusyd, filsafat yang nota bene dari Yunani itu tidak lagi terdengar gemanya dalam pemikiran Islam hingga saat ini.

Dikalangan elite terpelajar madzhab ini, pemikiran filsafat masih tetap berjalan dan hidup, sehingga masih lahir tokoh-tokoh terkemuka seperti Mulla Sadra (1571-1640), Mullah Hadi (1797-1873) dan lainnya.

C. Penutup.
Dalam bagian akhir ini, ada tiga hal yang perlu disampaikan. Pertama, bahwa perjalanan pemikiran filsafat Islam ternyata mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi pemikiran-pemikiran �aneh�E tapi kemudian dicurigai karena ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran agama yang dianggap baku, khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat dibela kembali oleh al-Farabi dan mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian jatuh lagi oleh serangan al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab Syi`ah.

Kedua, bahwa filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam tidak hanya logika Aristoteles, tetapi juga pemikian mistik Neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya model filsafat yang ada dalam Islam. Misalnya, al-Farabi dan Ibn Sina yang Platonis dalam konsepnya tentang emanasi, dan Ibn Rusyd yang Aristotelian ketika menjawab serangan al-Ghazali.

Ketiga, kecurigaan dan penentangan yang diberikan oleh sebagian tokoh muslim terhadap logika dan pemikiran filsafat, bukan semata-mata disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam tetapi lebih didasarkan atas kenyataan bahwa �saat itu-- filsafat mengandung dampak yang berbahaya bagi aqidah masyarakat. Apa yang dilakukan Ibn Rawandi (lahir 825 M) dan al-Razi (865-925 M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti filsafat, juga apa yang dilakukan oknum tertentu yang mengatasnamakan filsafat pada masa al-Ghazali adalah bukti nyata tentang hal itu [.]


DAFTAR PUSTAKA
Khudori Soleh 'Perjalanan Filsafat Dalam Pemikiran ISlam'
Abdullah, Amin, �Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi�E dalam Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat, Yogya, Tiara Wacana, 1998
Amien, Miska M., Epistemologi Islam, Jakarta, UI Press, 1983
Amin, Ahmad, Dhuh�Eal-Isl�m, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, tt
Aqqad, Abbas Mahmud, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, Solo, Pustaka Mantiq, 1988
Arsyad, Natsir, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah, Jakarta, Srigunting, 1995
Atiyeh, George N., Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Bandung, Pustaka, 1983
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, Bandung, Mizan, 1997
Bakar, Osman, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani L, Bandung, Pustaka Hidayah, 1995
Coulson, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta, P3M, 1987
Fakhry, Madjid, A History of Islamic Philosophy, Colombia University Press, 1983
Gardet, Louis & Anawati, Falsafah al-Fikr al-D�i, Beirut, Dar al-Ulum, 1978
Ghazali, al-Munqid min al-Dlal�l, Bairut, Al-Maktabah al-Sab�iyah, tt
Ghazali, Tah�fut al-Fal�sifah, ed. Sulaiman Dunya, Mesir, Dar al-Maarif, 1966
Ghurabi, Ali Musthafa, T�rikh al-Fir�q al-Islami, Kairo, Maktabah wa Mathba`ah, tt
Hanafi, Ahmad, Teologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1974
Hasan, Hasyim, Al-As�s al-Manhajiyah, Kairo, Dar al-Fikr, tt
Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Hitti, Philip K., History of The Arabs, New York, Martin Press, 1986
Jabiri, M. Abed, Takw� al-Aql al-Arabi, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991
Lapidus, Ira, A History of Islamic Societies, Cambridge University Press, 1999
Leaman, Oliver Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Rajawali Pres, 1988.
Machasin, Kelahiran dan Pertumbuhan Ilmu Teologi, makalah pada mata kuliah studi ilmu teologi, program pascasarjana (S-2), IAIN Yogya, 1997
Madkur, Ibrahim, Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi, Jakarta, Rajawali Press, 1996
Mahdi, Muhsin, �Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam�E Jurnal al-Hikmah, 4, Feb 1992
Nasr, Husain, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, Bandung, Risalah, 1986
Nasyar, Ali Sami, Man�hij al-Bahts ind Mufakkiri al-Isl�m, Bairut, Dar al-Fikr, 1967
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta, Yayasan Obor, 1991
Rahmat, Jalaludin, �Hikmah Muta`aliyah�E Jurnal Al-Hikmah, edisi 10, September, 1993
Soleh, Ach. Khudori, Kegelisahan Al-Ghazali, Bandung, Pustaka Hidayah, 1997
Syarif, MM., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1996
Watt, MM., Islamic Philosophy and Theology, Edinburg, Edinburg University Press, 1992

Hukum Pacaran Menurut Islam

“Janganlah kamu sekalian mendekati perzinahan, karena zina itu adalah perbuatan yang keji…” (QS. Al-Isra : 32).

Istilah pacaran yang dilakukan oleh anak-anak muda sekarang ini tidak ada dalam Islam. Yang ada dalam Islam ada yang disebut “Khitbah” atau masa tunangan. Masa tunangan ini adalah masa perkenalan, sehingga kalau misalnya setelah khitbah putus, tidak akan mempunyai dampak seperti kalau putus setelah nikah. Dalam masa pertunangan keduanya boleh bertemu dan berbincang-bincang di tempat yang aman, maksudnya ada orang ketiga meskipun tidak terlalu dekat duduknya dengan mereka.

Kalau dilihat dari hukum Islam, pacaran yang dilakukan oleh anak-anak sekarang adalah haram. Mengapa haram?

Karena pacaran itu akan membawa kepada perzinahan dimana zina adalah termasuk dosa besar, dan perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu ayatnya berbunyi sebagaimana yang dikutip di awal tulisan ini. Ayat tersebut tidak mengatakan jangan berzina, tetapi jangan mendekati zina, mengapa demikian ? Karena biasanya orang yang berzina itu tidak langsung, tetapi melalui tahapan-tahapan seperti : saling memandang, berkenalan, bercumbu kemudian baru berbuat zina yang terkutuk itu.

Pencegahan

Dalam hukum Islam umumnya, manakala sesuatu itu diharamkan, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan yang diharamkan itu diharamkan juga. Misalnya minum arak, bukan hanya minumnya yang diharamkan, tapi juga yang memproduksinya, yang menjualnya, yang membelinya, yang duduk bersama orang yang minum tersebut juga diharamkan.

Demikian juga halnya dengan masalah zina. Oleh karena itu maka syariat Islam memberikan tuntunan pencegahan dari perbuatan zina, karena Allah Maha Tahu tentang kelemahan manusia.

Berikut ini adalah pencegahan agar kita tidak terjerumus ke dalam perzinahan :
Dilarang laki dan perempuan yang bukan mahram untuk berdua-duaan. Nabi Saw bersabda : “Apabila laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berdua-duaan, maka yang ketiga adalah setan.” Setan juga pernah mengatakan kepada Nabi Musa AS bahwa apabila laki dan perempuan berdua-duaan maka aku akan menjadi utusan keduanya untuk menggoda mereka. Ini termasuk juga kakak ipar atau adik perempuan ipar.
Harus menjaga mata atau pandangan, sebab mata itu kuncinya hati. Dan pandangan itu pengutus fitnah yang sering membawa kepada perbuatan zina. Oleh karena itu Allah berfirman : “Katakanlah kepada laki-laki mukmin hendaklah mereka memalingkan pandangan mereka (dari yang haram) dan menjaga kehormatan mereka dan katakanlah kepada kaum wanita hendaklah mereka meredupkan mata mereka dari yang haram dan menjaga kehormatan mereka (An-Nur : 30-31).
Diwajibkan kepada kaum wanita untuk menjaga aurat mereka, dan dilarang mereka untuk memakai pakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, kecuali untuk suaminya. Dalam hadits dikatakan bahwa wanita yang keluar rumah dengan berpakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, memakai minyak wangi baunya semerbak, memakai make up dan sebagainya, setiap langkahnya dikutuk oleh para malaikat, dan setiap laki-laki yang memandangnya sama dengan berzina dengannya. Di hari kiamat nanti perempuan seperti itu tidak akan mencium baunya surga (apalagi masuk surga).
Dengan ancaman bagi yang berpacaran atau berbuat zina. Misalnya Nabi bersabda : “lebih baik memegang besi yang panas daripada memegang atau meraba perempuan yang bukan istrinya (kalau ia tahu akan berat siksaannya). Dalam hadits yang lain : “Barangsiapa yang minum (minuman keras) atau berzina, maka Allah akan melepas imannya dalam hatinya, seperti seseorang melepaskan peci dari kepalanya (artinya kalau yang sedang berzina itu meninggal ketika berzina, ia tidak sempat bertobat lagi, maka dia meninggal sebagai orang kafir yang akan kekal di neraka).

Oleh karena itu Syekh Sharwi menggambarkan : seandainya ada seorang wanita cantik yang sudah hampir telanjang di sebuah kamar, kemudian ditawarkan kepada seorang pemuda … “Maukah kamu saya kasihkan perempuan itu untuk kamu semalam suntuk, tapi besok pagi saya akan masukan kamu ke kamar yang sebelahnya, yang penuh dengan api, apakah mungkin anak muda itu akan mau untuk menikmati tubuh wanita semalam suntuk kemudian digodok keesokan harinya dalam api?

Nah ketika kita tergoda untuk berbuat zina atau minum, coba bayangkan kalau kita meninggal ketika itu, bagaimana nasib kita? Tiada dosa yang lebih besar setelah syirik kepada Allah daripada meneteskan air mani dalam suatu tempat (kehormatan) yang tidak halal baginya. Neraka Jahannam mempunyai “Tujuh pintu gerbang” (QS. Al-Hijr : 44), dan pintu gerbang yang paling panas, dahsyat, seram, keji, dan bau adalah diperuntukan bagi orang-orang yang suka berzina setelah dia tahu bahwa zina itu haram.

Sebagaimana kita yakini sebagai seorang muslim bahwa segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah, mesti mempunyai dampak yang negatif di masyarakat. Kita lihat saja di Amerika Serikat, bagaimana akibat karena adanya apa yang disebut dengan free sex, timbul berbagai penyakit. Banyak anak-anak yang terlantar, anak yang tidak mengenal ayahnya, sehingga timbul komplikasi jiwa dan sebagainya. Oleh karena itu, jalan keluar bagi para pemuda yang tidak kuat menahannya adalah :
Menikah, supaya bisa menjaga mata dan kehormatan.
Kalau belum siap menikah, banyaklah berpuasa dan berolahraga
Jauhkan mata dan telinga dari segala sesuatu yang akan membangkitkan syahwat
Dekatkan diri dengan Allah, dengan banyak membaca Al-Qur’an dan merenungkan artinya. Banyak berzikir, membaca shalawat, shalat berjamaah di Masjid, menghadiri pengajian-pengajian dan berteman dengan orang-orang yang shaleh yang akan selalu mengingatkan kita kepada jalan yang lurus.
Dan ingat bahwa Allah telah menjanjikan kepada para anak muda yang sabar menahan pacaran dan zina yaitu dengan bidadari, yang kalau satu diantaranya menampakkan wajahnya ke alam dunia ini, setiap laki-laki yang memandangnya pasti akan jatuh pingsan karena kecantikannya. Coba anda bayangkan saja siapa menurut anda wanita yang paling cantik di alam dunia ini, maka pastilah bidadari itu entah berapa juta kali lebih cantik dari wanita yang anda bayangkan itu.

(diadaptasi dari majalah Perkawinan dan Keluarg